Friday, April 16, 2010

Melintasi Wilayah Pemekaran : Kabupaten Kepahiang

Perjalanan darat melintasi jalan utama sempit berkelok naik turun dan tentu saja dijumpai jalanan yang rusak menuju Rejang Lebong dari Ibukota Propinsi Bengkulu menorehkan pengalaman tersendiri. Sebelum memasuki Rejang Lebong kita akan melewati wilayah hasil pemekaran baru yaitu Kabupaten Kepahiang. Kabupaten Kepahiang merupakan wilayah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi dan sosial penduduk berbentuk pola linier khususnya sepanjang jalan raya Bengkulu-Curup. Hal ini dikarenakan kondisi topografi yang bergelombang hingga berbukit. Daerah yang dapat dikatakan benar-benar datar hanya di beberapa tempat saja seperti di kompleks pemerintahan yang baru dalam tahap pembangunan, wilayah di sekitar perbatasan Rejang Lebong, dan di kawasan pusat kegiatan ekonomi. Menurut saya, lokasi pusat kegiatan penduduk umumnya berpola linier sepanjang jalan raya, tetapi ada pengecualian di lokasi relatif datar seperti kawasan kegiatan perekonomian yang terdapat suatu persimpangan sehingga dapat berpola lebih mengelompok. Kawasan ini sangat padat, ramai, dan semrawut serta telah menjadi pusat kegiatan ekonomi tingkat kecamatan sebelum pemekaran wilayah. Kawasan tersebut terdapat RSUD Kepahiang, pasar, kompleks pertokoan, "mall" dan lain-lain. Sedangkan untuk lokasi pusat pemerintahan daerah ada yang menarik yaitu Kantor Bupati&DPRD dengan halaman yang sangat luas terlebih bentuk bangunan depan bergaya Eropa. Waw, walaupun belum sepenuhnya selesei dibangun namun saya cukup terkesan. Untuk wilayah berfisiografis perbukitan dijumpai bangunan bergaya Eropa dilihat dari tiang-tiang yang sangat tinggi dan besar. Disisi lain saya prihatin sekilas tidak ada keunikan bangunan yang melambangkan ciri khas budaya daerah setempat. Karena menurut saya, budaya suatu daerah misalnya bentuk rumah adat biasanya telah disesuaikan dengan kondisi fisik, sosial, ekonomi masyarakat setempat. Jika di wilayah ini bentuk bangunan masyarakat asli biasanya rumah panggung terbuat dari kayu. Secara logika rumah terbuat dari kayu lebih tahan gempa sehingga cocok untuk wilayah ini. Seiring dengan perkembangan zaman maka bentuk bangunan mulai mengadopsi bangunan yang lebih "modern". Hal ini juga telah terjadi pada bentuk bangunan disebagian besar masyarakat tidak hanya di wilayah ini tetapi juga seluruh Indonesia. Terlebih kayu berkualitas yang semakin langka maka semakin jarang masyarakat membuat rumah berbahan baku utama kayu. Bukan berarti saya menyarankan gedung kantor bupati tersebut harus terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung. Tetapi dalam pembangunannya alangkah baiknya ada bagian tertentu yang mencerminkan identitas budaya setempat. Hal ini disebabkan letaknya yang strategis di pinggir jalan Bengkulu-Curup yang pastinya menjadi pusat perhatian bagi masyarakat yang melintas khususnya pendatang agar menimbulkan kesan mendalam. Anda akan berpikir bukankah istana kepresidenan misal di Bogor tidak bergaya tradisional? Jika pengobatan akhirnya bertransformasi Back to nature maka pada masa mendatang rumah etnic kemungkinan semakin dicari karena langka. Kalau saya dan suami memimpikan memiliki rumah khas jawa yaitu joglo. Kabarnya sekarang semakin susah dicari yang bisa merancang rumah joglo secara benar pakemnya. Maka cintailah budaya asli Indonesia sedini mungkin.

No comments:

Post a Comment